KUALITAS PENDUDUK


A.    Pengertian Kualitas Penduduk
Ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, kualitas hidup mempunyai pengertian dan tujuan yang berbeda. Dari segi filsafat, penilaian kualitas hidup dilakukan melalui kesadaran manusia terhadap makna dan tujuan hidupnya. Dari sudut pandang ekonomi, kualitas hidup manusia ditentukan oleh sikap kewiraswastaan, sikap menggunakan kesempatan ekonomi yang terbuka bagi dirinya. Dari segi psikologi, kualitas hidup tercermin dari tingkat kepuasan hidupnya. Banyak instrumen digunakan untuk menilai kualitas hidup seseorang antara lain Satisfaction with Life Domains Scale (SLDS) yang biasa digunakan untuk mengultur kualitas hidup dengan gangguan mental.
Dalam analisis data Riskesdas, penilaian kualitas hidup responden dilakukan ber-dasarkan penilaian responden sendiri mengenai kondisi kesehatannya dalam satu bulan terakhir dengan menggunakan konsep ICF. Dalam Riskesdas 2007 prevalensi pendudult Indonesia golongan umur 15 tahun atau lebih yang menyatakan kualitas hidup kurang 3 1,9%. 'Temuan ini lebih tinggi dibandingltan dengan prevalensi pada hasil survei orang dewasa di Illinois yaitu 15,5 persen.
Dengan semakin meningkatnya golongan umur maka risiko menderita penyakit dan stress scmakin besar, yang dapat mempengaruhi terjadinya kualitas hidup kurang. Hal ini sejalan dengan temuan Surkesnas 2004, prevalensi penyaltit tidak menular semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya umur . Menurunnya kondisi kesehatan akan menimbulltan limitasi aktivitas sehingga menirnbulkan keluhan kualitas hidup kurang.
Penduduk dengan gangguan mental emosional ringan, berisiko 4,l kali lebih besar untuk mempunyai kualitas hidup kurang dibandingltan penduduk yang tidak dengan gangguan mental emosional. Tidak tampak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Temuan Mercier juga menunjultkan tidak ada perbedaan kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan pada gangguan mental berat, tetapi pada responden yang lebih tua menyatakan kepuasan yang lebih besar dibandingkan dengan yang muda pada penilaian kualitas hidup yang sama, hanya pada responden kelompok lebih menayatakan rasa kuatir tentang masa depannya.
Perilaku berisiko (merokok, kurang aktivitas fisik, minum alkohol atau kurang makan serat) yang merupakan faktor utama terjadinya penyakit tidak menular dan gangguan mental emosional, sangat mempeligaruhi kualitas hidup penduduk. Penyakit dan gangguan mental ini berkaitan erat dengan tingkat pendidikan yang dapat mempengaruhi gaya hidup. Kondisi ini seharusnya dapat diantisipasi dengan lebih mengembangkan gaya hidup sehat, antara lain dengan melakultan aktivitas fisik. Tentunya harus didukung dengan adanya fasilitas untult itu, seperti tersedianya taman kota atau tempat untuk melaukan olahraga atau rekreasi, atau membangun tempat pedestrian. Selama ini tempat pedestrian yang ada dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima, sehingga fungsi asalnya hilang. Juga banyaknya bangunan yang berada di luar rencana tata kota, misalnya daerah untuk fasilitas sosial berubah menjadi daerah pertokoan atau tempat tinggal. jelas sangat merugikan masyarakat.
Dengan semakin majunya teknologi pengobatan, diperkirakan di Indonesia pada tahun 2025 umur harapan hidup menjadi 74 tahun, yang berarti angka lansia akan semakin meningkat. Hal ini akan merupakan masalah dalam pembiayaan kesehatan secara nasional. Kondisi ini akan diperberat dengan kualitas hidup penduduk yang kurang. Nazara S.,dalam diskusi terbatas mengemukakan: "Pemmikiran positif tentang bonus masa depan yaitu kelompok lansia harus terus produktif secara ekonomi dengan angka harapan hidup yang tinggi tersebut. Hal ini dimungkinltan apabila kelompok lansia Indonesia tetap sehat, berpendidikan dan produktif “.
Bagaimana peran Pemerintah dalam program promotif-preventif ksehatan untuk mendukung layanan kesehatan dasar dalam meningkatkan kualitas hidup?
Beberapa kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular antara lain penggerakan posyandu lanjut usia, gerakan kota sehat, memfasilitasi dan mendorong tumbuhnya gerakan penanggulangan penyakit tidak menular di masyarakat melalui berkembangnya organisasi-organisasi masyarakat, dan pemanfaatan obat generik di semua fasilitas kesehatan Pemerintah.
Menurut Pradono, Julianty, dkk. (2009: 9), Pelaksanaan kebijakan yang ada selama ini masih bersifat terkotak-kotak dan belum mengarah kepada upaya promosi dan pencegahan penyakit tidak menular secara komprehensif. Pada manajemen pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kuratif dan rehabilitasi, ketersediaan fasilitas pelayanan belum memadai dan tenaga kesehatan belum tersebar secara merata. Untuk daerah perkotaan yang mempunyai cukup fasilitas, hambatan terutama berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan yang mahal dan ketersediaan obat generik yang sangat terbatas, baik jumlah maupun jenis yang dibutuhkan, sehingga perlu dipikirkan adanya jaminan pemeliharaan kesehatan untuk masyaraltat, khususnya bagi penduduk lanjut usia.

B.     IndikatorKualitasPenduduk
Raeburn dan Rootman (Angriyani, 2008) mengemukakan bahwa terdapat delapan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang, yaitu:
1.      Kontrol, berkaitan dengan kontrol terhadap perilaku yang dilakukan oleh seseorang, seperti pembatasan terhadap kegiatan untuk menjaga kondisi tubuh.
2.      Kesempatan yang potensial, beraitan dengan seberapa besar seseorang dapat melihat peluang yang dimilikinya.
3.      Sistem dukungan, termasuk didalamnya dukungan yang berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sarana-sarana fisik seperti tempat tinggal atau rumah yang layak dan fasilitas-fasilitas yang memadai sehingga dapat menunjang kehidupan.
4.      Keterampilan, berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan keterampilan lain yang mengakibatkan ia dapat mengembangkan dirinya, seperti mengikuti suatu kegiatan atau kursus tertentu.
5.      Kejadian dalam hidup, hal ini terkait dengan tugas perkembangan dan stres yang diakibatkan oleh tugas tersebut. Kejadian dalam hidup sangat berhubungan erat dengan tugas perkembangan yang harus dijalani, dan terkadang kemampuan seseorang untuk menjalani tugas tersebut mengakibatkan tekanan tersendiri.
6.      Sumber daya, terkait dengan kemampuan dan kondisi fisik seseorang. Sumber daya pada dasarnya adalah apa yang dimiliki oleh seseorang sebagai individu.
7.      Perubahan lingkungan, berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitar seperti rusaknya tempat tinggal akibat bencana.
8.      Perubahan politik, berkaitan dengan masalah negara seperti krisis moneter sehingga menyebabkan orang kehilangan pekerjaan/mata pencaharian.

Sedangkan menurut Lindstrom (Bulan, 2009) kualitas hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.      Kondisi Global, meliputi lingkungan makro yang berupa kebijakan pemerintah dan asas-asas dalam masyarakat yang memberikan pelindungan anak.
2.      Kondisi Eksternal, meliputi lingkungan tempat tinggal (cuaca, musim, polusi, kepadatan penduduk), status sosial ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan orang tua.
3.      Kondisi Interpersonal, meliputi hubungan sosial dalam keluarga (orangtua, saudara kandung, saudara lain serumah dan teman sebaya).
4.      Kondisi Personal, meliputi dimensi fisik, mental dan spiritual pada diri anak sendiri, yaitu genetik, umur, kelamin, ras, gizi, hormonal, stress, motivasi belajar dan pendidikan anak serta pengajaran agama.

Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup yaitu :
1.      Gender atau Jenis Kelamin
Moons, dkk (2004) dalam (Noftri, 2009)mengatakan bahwa gender adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Bain, dkk (2003) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya perbedaan antara kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan, dimana kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup perempuan. Bertentangan dengan penemuan Bain, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa kualitas hidup perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki. Ryff dan Singer (1998) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa secara umum, kesejahteraan laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, namun perempuan lebih banyak terkait dengan aspek hubungan yang bersifat positif sedangkan kesejahteraan tinggi pada pria lebih terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik.
2.      Usia
Moons, dkk (2004) dan Dalkey (2002) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Wagner, Abbot, & Lett (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya perbedaan yang terkait dengan usia dalam aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1998) dalam (Nofitri, 2009), individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada usia dewasa madya. Penelitian yang dilakukan oleh Rugerri, dkk (2001) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya kontribusi dari faktor usia tua terhadap kualitas hidup subjektif.
3.      Pendidikan
Moons, dkk (2004) dan Baxter (1998) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, dkk (2007) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak banyak.
4.      Pekerjaan
Moons, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus sebagai pelajar, penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan), dan penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki disablity tertentu). Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita.
5.      Status pernikahan
Moons, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang tidak menikah, individu bercerai ataupun janda, dan individu yang menikah atau kohabitasi. Penelitian empiris di Amerika secara umum menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda/duda akibat pasangan meninggal Glenn dan Weaver (1981) dalam (Nofitri, 2009) .Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahl, dkk (2004) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa baik pada pria maupun wanita, individu dengan status menikah atau kohabitasi memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi.
6.      Penghasilan
Baxter, dkk (1998) dan Dalkey (2002) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya pengaruh dari faktor demografi berupa penghasilan dengan kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani (2007) dalam (Nofitri, 2009) juga menemukan adanya kontribusi yang lumayan dari faktor penghasilan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak banyak.
7.      Hubungan dengan orang lain
Baxter, dkk (1998) dalam (Nofitri, 2009) menemukan adanya pengaruh dari faktor demografi berupa faktor jaringan sosial dengan kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Kahneman, Diener, & Schwarz (1999) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan pertemanan yang saling mendukung maupun melalui pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik baik secara fisik maupun emosional. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani (2007) dalam (Nofitri, 2009) juga menemukan bahwa faktor hubungan dengan orang lain memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menjelaskan kualitas hidup subjektif.
8.      Standard referensi
O’Connor (1993) dalam (Nofitri, 2009) mengatakan bahwa kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh standard referensi yang digunakan seseorang seperti harapan, aspirasi, perasaan mengenai persamaan antara diri individu dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan definisi kualitas hidup yang dikemukakan oleh WHOQoL (Power, 2003) dalam (Nofitri, 2009), bahwa kualitas hidup akan dipengaruhi oleh harapan, tujuan, dan standard dari masing-masing individu. Glatzer dan Mohr (1987) dalam (Nofitri, 2009) menemukan bahwa di antara berbagai standard referensi yang digunakan oleh individu, komparasi sosial memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Jadi, individu membandingkan kondisinya dengan kondisi orang lain dalam menghayati kualitas hidupnya.

Pengelompokan aspek kualitas hidup yang dikemukakan oleh Felce dan Perry (1995), sebagai beikut :
1.      Kelompok aspek kesejateraan fisik
Felce dan Perry menyebutkan beberapa aspek kehidupan seperti kesehatan, kebugaran, keamanan fisik, dan mobilitas sebagai bagian dari kelompok physical wellbeing.
2.      Kelompok aspek kesejahteraan material
Felce dan Perry menyebutkan beberapa aspek kehidupan seperti pendapatan, kualitas lingkungan hidup, privacy, kepemilikan, makanan, alat transportasi, lingkungan tempat tinggal, keamanan dan stavilitas sebagai bagian dari kelompok aspek material wellbeing.
3.      Kelompok aspek kesejahteraan sosial
Felce dan Perry membagi kelompok aspek ini menjadi dua dimensi utama yaitu dimensi hubungan iterpersonal dan dimensi keterlibatan dalam masyarakat.
4.      Kelompok aspek pengembangan dan aktivitas
Felce dan Perry menjelaskan bahwa dimensi perkembangan dan aktivitas ini berkaitan dengan kepemilikan dan penggunaan keahlian baik dalam hubungannya dengan self-determination ataupun pencapaian aktivitas fungsional.
5.      Kelompok aspek kesejahteraan emosional
Felce dan Perry menyebutkan beberapa aspek kehidupan seperti afek atau mood, kepuasan atau pemenuhan kebutuhan, kepercayaan diri, agama, dan status/kehormatan.

C.    Kualitas Penduduk di Indonesia
Di Indonesia data status disabilitas berbasis masyarakat telah dikumpulkan melalui survei nasional yaitu Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, 2001, dan tahun 2004. Data-data tersebut terbatas hanya menggambarkan keadaan sampai tingkat nasional. Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, data yang dikumpulkan dapat menggambarkan tingkat kabupaten kota.
Riskesdas 2007 menunjukkan 31,9 persen penduduk umur 15 tahun atau lebih mempunyai permasalahan status disabilitas. Dibandingkan dengan hasil SKRT 2004 (nasional 16 persen) hasil Riskesdas menunjukkan peningkatan yang bermakna (2 kali). Kondisi ini menggambarkan betapa seriusnya permasalahan kualitas hidup penduduk. Kualitas hidup penduduk sebagai sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa.
Menurut Pradono, Julianty, dkk. (2009: 9), Kualitas hidup penduduk Indonesia dengan kriteria kurang, lebih banyak dijumpai pada golongan umur lanjut, perempuan, tingkat pendidikan rendah, tidak bekerja, tinggal di daerah perdesaan, serta sosial ekonomi tergolong miskin. Penduduk yang menderita penyakit tidak menular, cedera, menderita gangguan mental emosional, menyandang faktor risiko antara, dan tinggal di rumah dengan lingkungan terpapar memiliki kualitas hidup kurang. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penduduk adalah golongan umur, kemudian adanya gangguan mental emosional, tinggal di rumah dengan lingkungan terpapar, dan jenis kelamin. Berdasarkan hasil analisis, disarankan program kesehatan lansia yang sudah berjalan selama ini, dapat lebih ditingkatkan terutama dalam pencegahan terjadinya penyakit kronis, dengan dukungan kebijakan untuk penanganan pencegahan penyakit tidak menular khususnya yang lebih rinci dan komprehensif. Disamping itu perlu adanya kerja sama lintas sektor dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan yang erat kaitannya dengan gaya hidup, baik secara formal maupun informal.

Komentar

Postingan Populer